Shalat Sunnah Rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardu. Sesungguhnya di balik disyariatkannya.
Shalat sunnah terdapat hikmah-hikmah yang agung dan rahasia yang sangat banyak, di antaranya untuk
menambah kebajikan dan meninggikan derajat seseorang. Shalat sunah juga berfungsi sebagai penutup segala
kekurangan dalam pelaksanaan Shalat fardu. Shalat sunah juga mempunyai keutamaan yang agung, kedudukan yang tinggi yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lainnya, serta hikmah-hikmah yang lain.
Dari Rabi'ah bin Ka'b al-Aslami, pelayan Rasulullah saw, berkata, "Aku pernah menginap bersama Rasulullah kemudian aku membawakan air wudu untuk beliau serta kebutuhannya yang lain. Beliau bersabda, 'Mintalah
kepadaku', maka aku katakan kepada beliau, 'Aku minta agar bisa bersamamu di Surga', beliau bersabda, 'Ataukah permintaan yang lain?' Aku katakan, 'Itu saja'. Beliau bersabda, 'Kalau begitu, bantulah aku atas dirimu dengan banyak bersujud (Shalat)'." (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah ra , ia berkata, "Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya amal seorang hamba yang pertama kali di hisab (diperhitungkan) pada hari Kiamat nanti adalah Shalatnya, apabila Shalatnya baik, maka sungguh telah beruntung dan selamat, dan jika Shalatnya rusak, maka dia akan kecewa dan merugi. Apabila Shalat fardunya kurang sempurna, maka Allah berfirman, 'Apakah hamba-Ku ini mempunyai Shalat sunnah? Maka tutuplah kekurangan Shalat fardu itu dengan Shalat sunnahnya.' Kemudian, begitu pula dengan amalan-amalan lainnya kurang'." (HR Abu Daud, Tirmizi, dan lainnya, hadis sahih).
Pembagian Shalat-Shalat Sunnah Dari segi waktunya, ada yang dikerjakan sebelum shalat fardu (Qabliyah), yaitu sejak masuknya waktu shalat fardu, dan ada pula yang dikerjakan sesudahnya (Ba’diyah), dikerjakan setelah mengerjakan shalat fardu selama waktu shalat fardu belum berakhir.
Sementara itu, dari segi tingkat urgensinya, para ulama membagi shalat Rawatib menjadi dua macam.
Pertama,
shalat sunnah Rawatib Mu’akkad yaitu shalat sunnah Rawatib yang selalu dikerjakan oleh Nabi SAW.
Kedua,
shalat sunnah Rawatib Ghair Mu’akkad yaitu shalat sunnah Rawatib yang pernah dikerjakan oleh Nabi saw pada suatu waktu, tetapi di waktu yang lain beliau meninggalkannya. Majlis Tarjih tidak mengikuti pembagian seperti ini karena yang menjadi penekanannya adalah rujukan shalat tersebut kepada sunnah Nabi saw.
Dari segi niatnya, shalat sunnah terbagi dua, yaitu Shalat sunnah mutlak dan Shalat sunnah muqayyad. Shalat
sunnah mutlak itu dilakukan hanya dengan niat Shalat sunnah saja tanpa dikaitkan dengan yang lain. Adapun sunnah muqayyad, di antaranya ada yang disyariatkan sebagai penyerta Shalat fardu, yaitu yang biasa disebut
dengan Shalat sunnah rawatib: mencakup Shalat sunnah Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Ada juga Dhuha, Shalat 'Idain, Shalat Kusuf dan Khusuf, Shalat Hajah, Shalat Istikharah, dan Shalat-Shalat sunnah yang Adapun Shalat sunnah rawatib (Shalat-Shalat sunnah yang mengiringi Shalat fardhu, baik sebelum maupun sesudahnya), maka Shalat tersebut ada 18 rakaat.
Pertama, qobliyah Dzuhur empat rakaat, dengan dua kali salam. Adapun ba'diyah Dzuhur empat rakaat, juga
dengan dua kali salam. Kedua, qobliyah Ashar empat rakaat, dengan dua kali salam. Adapun ba'diyahnya tidak ada. Karena, Shalat sunat setelah Shalat Asar tidak diperbolehkan, kecuali Shalat yang mempunyai sebab tertentu, seperti Shalat sunnah Tahiyatul Masjid, Shalat Jenazah, Shalat sunnah Wudhu, dan lain-lain. Shalat-Shalat tersebut boleh dilakukan
setelah Ashar karena mempunyai sebab-sebab khusus.
Ketiga, qobliyah Maghrib dua rakaat, dengan satu kali salam. Demikian pula Shalat ba'diyahnya, yaitu dua rakaat dengan satu kali salam.
Keempat, qobliyah Isya empat rakaat, dengan dua kali salam. Untuk ba'diyahnya cukup dua rakaat dengan satu salam.
Kelima, qobliyah Subuh dua rakaat, dengan satu kali salam. Seperti halnya Shalat Asar, maka dalam Shalat Subuh ini tidak ada Shalat ba'diyahnya. Bahkan, setelah Shalat Subuh--sebagaimana setelah Shalat Asarpula melakukan Shalat sunnah apa pun, kecuali Shalat sunnah yang mempunyai sebab tertentu (dzaatus sabab).
Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib
Secara umum, shalat sunnah Rawatib itu memiliki keutamaan sebagaimana shalat sunnah lainnya. Hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Hakim menjelaskan keutamaan tersebut. Secara lengkap hadis tersebut berbunyi: Dari Tamim ad-Dari bahwasanya Nabi saw bersabda, “Perbuatan orang yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalatnya. Maka, jika ia telah mengerjakan shalat (fardu) dengan sempurna, dicatat baginya sempurna. Tetapi, jika ia tidak, maka Allah akan berfirman kepada malaikat, Periksalah, apakah kamu dapati perbuatan tathawwu’ bagi hamba-Ku untuk dilengkapkan dengan shalat fardunya? ...”.
Dari Ummu Habibah ra, ia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Tidaklah seorang hamba
muslim melaksanakan Shalat sunnah (bukan fardhu) karena Allah, sebanyak dua belas rakaat setiap harinya,
kecuali Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di Surga'." (HR Muslim).
Imam Ghazali menjelaskan hubungan shalat sunnah Rawatib dengan shalat Fardu. Menurutnya, shalat Fardu
diibaratkan modal, sedangkan shalat sunah diibaratkan keuntungan. Maka, tidak mungkin seseorang itu akan
mendapatkan keuntungan kalau dia tidak memiliki modal. Sebab, ia tidak bisa berniaga atau berbisnis tanpa modal.
Begitu juga, keuntungan yang diperoleh dalam berniaga bisa lebih besar dari pada modalnya.
Penjelasan tentang Sunnah Rawatib
Dari Ummu Habibah ra, ia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Barangsiapa Shalat dalam sehari semalam dua belas rakaat, akan dibangun untuknya rumah di Surga, yaitu empat rakaat sebelum Dzuhur dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah Isya dan dua rakaat sebelum Shalat Subuh'." (HR Tirmidzi, ia mengatakan, hadis ini hasan sahih).
Dari Ibnu Umar ra dia berkata, "Aku Shalat bersama Rasulullah saw dua rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Jum'at, dua rakaat sesudah Maghrib, dan dua rakaat sesudah Isya'." (Muttafaq 'alaih).
Dari Abdullah bin Mughaffal ra , ia berkata, "Bersabda Rasulullah saw, 'Di antara dua azan itu ada Shalat, di antara dua azan itu ada Shalat, di antara dua azan itu ada Shalat'. Kemudian, pada ucapannya yang ketiga beliau menambahkan: 'bagi yang mau'." (Muttafaq 'alaih).
Dari Ummu Habibah ra, ia berkata, "Rasulullah saw bersabda, 'Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah mengharamkannya dari api Neraka'." (HR Abu Daud dan Tirmidzi, mengatakan hadis ini hasan sahih).
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, "Semoga Allah memberi rahmat bagi orang yang Shalat empat sebelum Ashar." (HR Abu Daud dan Tirmizi, ia mengatakan, hadis ini hasan).
Shalat Witir Shalat-Shalat sunnah yang kita sebutkan di atas merupakan Shalat sunnah rawatib yang sangat ditekankan. Selain itu, ada juga Shalat sunnah mu'akkadah yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja, salah satunya adalah Shalat yaitu Shalat sunnah yang wakatunya dari setelah Isya hingga menjelang Subuh.
Cara Mengerjakan Shalat Rawatib Shalat sunnah Rawatib sebagaimana shalat sunnah pada umumnya dapat dikerjakan sambil duduk meskipun mampu berdiri. Ini merupakan dispensasi (rukhshah) yang diberikan kepada kita umat Islam.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Jama’ah ahli hadis selain Imam Muslim dari Imran bin Husain ra Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang mengerjakan shalat (sunnah) sambil berdiri maka itu lebih utama. Barang siapa yang
mengerjakannya sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang shalatnya sambil berdiri. Dan barang siapa yang mengerjakannya sambil tiduran, maka baginya setengah pahala orang yang shalatnya sambil duduk Sementara itu, dari sisi tempatnya, shalat sunnah Rawatib itu lebih utama dikerjakan di rumah dari pada di masjid.Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi saw bersabda, “Seutama-utamanya shalat adalat shalat seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali fardu “.?
Diadaptasi dari Tuntutan Shalat Menurut Alquran dan Sunnah, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al
Jumat, 19 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar